Kamis, 28 Oktober 2010

ARAH GERAKAN MAHASISWA INDONESIA DI SIMPANG JALAN? (Kritik Terhadap Format Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi)

Pendahuluan
Krisis moneter bangsa Indonesia menimbulkan catatan sejarah barua bangsa Indonesia khususnya menyangkut gerakan mahasiswa yang begitu progresif dan melebur dengan masyarakat menuntut perbaikan nasib jutaan rakyat Indonesia. Sejarah ini ditorehkan oleh kalangan generasi muda, khususnya gerakan mahasiswa, melalui peristiwa yang dikenal sebagai era reformasi.  Sebuah era baru, setelah jatuhnya rezim otoriter Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Jenderal Besar Soeharto oleh kekuatan rakyat (people power) melalui peristiwa yang kita kenal dengan "Tragedi Mei 1998". Demontrasi mahasiswa pada saat itu selalu mejadi legenda dan sejarah perjuangan mahasiwa sebagai katalisator dalam menjatuhkan regim Soeharto. 
Kondisi saat itu tentu berbeda sekali dengan kondisi sekarang.  Saat ini, berbagai demontrasi mahasiswa sudah tidak mendapat respek lagi dari masyarakat.  Apa yang selama ini dilakukan dengan turun ke jalan bila hanya dilakukan oleh pihak mahasiwa sendiri tidak lebih disebut sebagai "pawai", karnaval", atau "arak-arakan" belaka. Dan malah lebih berkesan hura-hura jika aksi mereka tidak murni ide mahasiswa. “Demontrasi titipan” demikian yang menjadi stigma masyarakat terhadap gerakan mahasiswa Indonesia saat ini. Dan bila mahasiswa turun jalan membawa aspirasi murni hati nurani rakyat serta berlatar belakang ide mahasiswa sendiri tanpa ditunggangi, tanpa titipan-titipan maka turun jalan demikian dapat dikatakan sebagai "unjuk rasa". Tetapi apakah ini masih ada mengingat sikap dan keberpihakan terhadap kaum tertindas telah dikooptasi oleh situasi praktis yang sedang berkembang yang kurang menguntungkan nasib bangsa kita sendiri.
Dengan demikian strategi yang mesti dilakukan oleh mahasiswa jika memang
mereka berani dalam membela kebenaran adalah bersikap dialogis terhadap
pemerintah, introspeksi tentang niat kemurnian gerakan, dan tanggap
benar dengan rakyat. Untuk itu, format gerakan mahasiswa harus tanpa kekerasan dan berwajah damai, namun tegas dan lugas dalam menyampaikan aspirasi rakyat sesuai yang dibutuhkan rakyat bukan menjadi rakyat semakin pusing melihat kelakuan mahasiswa.
Memudarnya Gerakan Mahasiswa Indonesia
Sejarah pergerakan mahasiswa dengan pemerintah dan elite politik sudah berlangsung sejak lama. Tahun 1966, misalnya, mahasiswa secara lantang menyuarakan isu Tritura. Kemudian tahun 1970 mahasiswa melakukan aksi menentang kenaikan harga minyak serta budaya korupsi di tubuh pemerintahan. Selanjutnya, mahasiswa juga kencang menggugat berbagai persoalan yang dinilai sepihak, tidak adil, dan tidak demokratis seperti Peristiwa Malari (1974), kebijakan pembekuan Dewan Mahasiswa (1978), asas tunggal Pancasila (1984), dan SDSB (1988).
Berbeda dengan partai poltik  yang berorientasi kekuasaan, gerakan mahasiswa memperjuangkan nilai-nilai (values) yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Gerakan mahasiswa adalah seperangkat kegiatan mahasiswa yang bergerak menentang dan mempersoalkan realitas objektif yang dianggap bertentangan dengan realitas subjektif mereka. Hal itu termanifestasikan melalui aksi-aksi politik dari yang bersifat lunak hingga sangat keras seperti penyebaran poster, tulisan di media massa, diskusi-diskusi politik, lobi, dialog, petisi, mogok makan, mimbar bebas, pawai di kampus, mengunjungi lembaga kenegaraan, turun ke jalan secara massal, perebutan dan pendudukan fasilitas-fasilitas strategis seperti lembaga kenegaraan, stasiun radio serta televisi, dan lain-lain.
Mahasiswa mengambil pilihan itu karena merasakan dan memahami bahwa ada nilai-nilai yang "suci" atau "ideal" dan bahkan "universial" yang mengalami ancaman khususnya karena kebijakan pemerintah. Mahasiswa berdemonstrasi karena menemukan banyak gejala atau praktik yang hendak menggusur dan bahkan membunuh nilai-nilai tersebut. Vijay Sathe dalam Culture and Related Corporate Realities (1958) mendefinisikan nilai sebagai basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for. Ungkapan "worth striving for" menunjukkan bahwa pada suatu saat manusia rela mengorbankan nyawanya untuk mengejar sesuatu nilai.
Hal tersebut yang saat ini mulai tergerus dalam perjalanan jaman dalam pergulatan gerakan mahasiswa di Indoensia.  Gerakan mahasiswa ternyata ikut larut juga dalam kondisi sosial budaya masyarakat kita, dimana budaya hedonisme dan konsumerisme yang demikian tinggi.  Arah gerakan mahasiswa sudah tidak lagi berbicara konteks memperjuangkan kepentingan masyarakat tertindas baik dari penghisapan bangsa sendiri dan bangsa asing. Tetapi lebih berbicara apa yang dapat diuntungkan dari situasi yang sulit ini.  Degradasi inilah yang menyebabkan kemrosotan pola pikir dan daya intelektual mahasiswa.  Mahasiswa sudah banyak berkurang tentang ide-ide cemerlang terhadap nasib bangsa apalagi tentang kerelaan untuk mengorbankan nyawa demi tegaknya nilai-nilai ideal. Padahal mahasiswa harusnya berjiwa idealis, progresive, militan, dan revolusioner untuk mempertanyakan segala hal dari yang bersifat pinggiran ke masalah yang bersifat asasi sekaligus melakukan perubahan-perubahan yang dicita-citakannya. Dalam dunia gerakan mahasiswa sudah tidak bisa lagi bertumpu pada hanya sekedar reorika semata. Gerakan mahasiswa.
Kesediaan untuk berkorban demi tegaknya nilai-nilai yang dianggap ideal adalah investasi utama bagi lahirnya radikalisme mahasiswa. Namun seringkali idealisme dan radikalisme gerakan mahasiswa tidak diiringi dengan kalkulasi-kalkulasi yang strategis dan taktis. Gerakan mahasiswa sering berjalan terlalu berani namun terlalu lurus tanpa perhitungan yang matang. Akibatnya, gerakan mahasiswa mudah sekali dibaca, dikendalikan, dan akhirnya dimanfaatkan gerakan kelompok kepentingan.
Dalam konteks gerakan mahasiswa seharusnya tidak berhenti sebagai gerakan moral dan gerakan menumbangkan rezim saja, tetapi juga harus merebut dan membangun kekuasaan. Tanpa kekuasaan ini tidaklah mungkin bagi mahasiswa untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Mengenai cara atau metode untuk mendapatkan kekuasaan ini, mahasiswa harus mampu membangun gerakan ekstraparlementer lewat mobilisasi massa dan gerakan intraparlementer dengan masuk ke kancah politik formal. Oleh karena itu, sebagian gerakan mahasiswa harus mendirikan partai-partai politik.  Secara rasional maupun konseptual, adanya gagasan atau keinginan agar mahasiswa lebih berani dalam bermain politik, sesungguhnya tidaklah berlebihan. Mahasiswa sebagai salah satu pilar civil society yang terdidik, secara tradisional memiliki tanggung jawab moral untuk membawa masyarakat ke alam kehidupan yang lebih baik dan demokratis. Secara rasional tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa adalah penerjemah dan pencari solusi atas merebaknya kegelisahan sosial.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ketika kaum intelektual sudah mulai terjun langsung ke dalam dunia politik praktis, akankah para mahasiswa mengikuti jejak senior mereka? Lantas, kepada siapa rakyat akan mempercayakan mandat dan aspirasinya? Padahal kalau kita simak kembali lembaran sejarah, gerakan mahasiswa itu sebenarnya tidak pernah mempunyai tujuan-tujuan politik praktis, sebagaimana gerakan-gerakan sosial pada abad ke-17 hingga 19. Gerakan mahasiswa sifatnya hanya berupa aktivitas atau reaksi-reaksi spontan dan sporadis yang bertujuan hendak mewujudkan atau menolak suatu perubahan, keadaan sosial atau tatanan politik tertentu. Gerakan mahasiswa selalu dan hanya lahir pada saat-saat di mana terdapat fenomena social anomie atau social disorder. Manakala tertib sosial dan harmoni telah terbangun, dengan sendirinya mereka akan kembali menekuni dunia keilmuan (back to campus).

Paradigma Gerakan Mahasiswa Indonesia
Terkait dengan gerakan mahasiswa ada dua pendekatan atau paradigma yang mengemuka sejak munculnya gerakan kaum terpelajar yaitu gerakan politik atau gerakan moral.  Kedua pendekatan ini yang selalu mewarnai gerakan mahasiswa di Indonesia di luar mahasiswa-mahasiswa yang larus dalam dunia pragmatis.  Berbagai upaya untuk mendekatkan mahasiswa dengan masyarakat dilakukan baik melalui pola pemberdayaan masyarakat melalui LSM ataupun kelompok-kelompok studi.  Sementara itu, gerakan mahasiswa yang lebih cenderung ke arah politik lebih suka bermain di dataran elite partai maupu kekauasaan.  Hal ini yang seringkali meninbulkan persinggungan gerakan mahasiswa di Indonesia. Contoh yang paling mudah adalah pasca jatuhnya regim Soeharto maka gerakan mahasiswa terpolarisasi dalam berbagai gerakan, baik itu yang moralistik dengan mengedpankan intelektual maupun gerakan politik dengan terlibat dalam partai politik.  Bahkan saat ini muncul gerakan mahasiswa yang hanya berdasarkan orde.  Tentu kelompok yang terakhir ini sangat memprihatinkan kita semua baik itu yang lebih menggunkan pendekatan politik maupun moral.
Terlepas dari itu semua, gerakan mahasiswa sudah tidak bisa lagi hanya berdasarkan pendekatan moral dan intelektual semata atuapun pendekatan politik.  Keduanyta harus sinergi sebagai upaya mencapai atau meraih apa yang mejadi cita-cita moral mahasiswa.  Untuk itu gerakan mahasiswa harusnya merupakan gerakanmoral politik.  Mahasiswa tidak bisa lagi dikungkung dalam kampus semata dan bergulat dengan bidang keilmuwannya semata, mahasiswa harus selalu peduli dan kritis terhadap setiap permasalahan yang ada di bangsa kita.  Jika mahasiswa masih terpola dengan cara-cara lam maka gerakan mahasiswa akan  semakin tertinggal baik oleh para pragmatis yang selalu mencari keuntungan maupun kelompok-kelompok yang memiliki tujuan menghancurkan bangsa Indonesia.
Untuk itu, mahasiswa tidak bisa lagi mengandalkan tuntutan perjuangan semata dengan melupakan tanggung jawab sebai seorang intelektual.  Kemampuan intelektual inilah yang saat ini sudah banyak ditinggalka oleh aktivis gerakan.  Mahasiswa terjebak dalam prilaku pragmatis dalam menghadapi permasalahan yang terjadi tanpa melihat secara lebih mendalam tentang substansi permasalahan yang dihadapi.  Pada akhirnya gerakan mahasiswa maupun mahasiswa itu saendiri gagap terhadap setiap perkembangan jaman yang berubah secara cepat.
Penutup
Peranan politik mahasiswa itu, pada setiap waktu, sangat penting. Gerakan mahasiswa itu semacam medan latihan buat munculnya tenaga baru untuk partai, ormas, lsm, birokrasi, profesional, dll. Eksistensi gerakan mahasiswa amat ditentukan oleh kekuatan pemikiran dan kompetensi profesionalnya. Sebagai anak zaman, gerakan mahasiswa juga bergerak seirama dengan tuntutan zaman. Dalam konteks Indonesia, khususnya gerakan mahasiswa, ada beberapa poin yang bisa dijadikan acuan gerakan, antara lain:
1. Gerakan mahasiswa mesti menyiapkan ruang yang kondusif untuk membekali komunitasnya dengan keunggulan komparatif, agar kelak mampu eksis dalam kompetisi politik dan ekonomi yang semakin terbuka dan ketat.
2. Gerakan mahasiswa yang secara ideologis memiliki keberagaman (pluralisme ideologi), sudah semestinya mampu menemukan "sinergi kolektif" melalui tradisi "komunikasi tanpa prasangka" demi memperjuangkan kepentingan bangsa. Dalam diksi yang lain, sentimen ideologis kelompok atau golongan, jangan malah mengalahkan kepentingan kolektif kita sebagai bangsa.
3. Gerakan mahasiswa mesti mengambil prakarsa untuk menstimulasi, menjaga, dan mengawal berlangsungnya "demokrasi politik" dan "demokrasi ekonomi", melalui pergumulan varian isu seperti supremasi hukum, kebebasan berserikat/berkumpul, kebebasan pers, anti-KKN, penegakan HAM, dll.
4. Gerakan mahasiswa mutlak melakukan reorientasi dalam agenda gerakan atau perjuangan kolektifnya. Sering perubahan konfigurasi dan budaya politik nasional, tema-tema gerakan yang menjadikan "orang/figur sebagai musuh bersama" tampaknya kurang relevan atau kontekstual lagi. Hendaknya, gerakan mahasiswa lebih memberikan atensinya terhadap tema-tema mendasar seperti ancaman disintegrasi nasional, disparatis antarwilayah, bias otonomi daerah yang memunculkan sentimen/ego daerah yang justru mengancam NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD '45.
5. Gerakan mahasiswa sudah semestinya mentradisikan motivasi perjuangan yang meletakkan loyalitas kepada cita-cita, bukan kepada orang. Gerakan mahasiswa akan kehilangan jati dirinya ketika ia memainkan perannya sebagai subordinasi dari orang per orang, dan bakal terkubur eksistensi sejarahnya apabila ia membiarkan dirinya menjadi alat penguasa, siapa pun pemegang kekuasaan itu.

RTH Kota Gerung Segera Dicanangkan


Penataan keindahan kota Gerung terus dibenahi. Tidak saja karena menhgadapi penilaian dan mempertahankan penghargaan Adipura. Melainkan juga, Gerung merupakan ibukota kabupaten, harus terealisasi dari hal keteduhan, kenyamanan dan kebersihan kota.
Dalam hal kebersihan lingkungan dan keteduhan kota, Kamis (22/10) lalu, Badan Lingkungan Hidup (BLH) bekerjasama dengan Dinas Kehutanan, menggelar rapat persiapan pencanangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota Gerung. Hadir dalam kesempatan tersebut Asisten II, Kaban LH, Kadishut, PPKAD, Kebersihan dan Tata Kota, serta sejumlah Kepala Sekolah SMA/SMP yang lahan sekolahnya dijadikan pencanangan RTH.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Lobar, Drh.I Nyoman Sembah, M.Si dalam arahannya mengatakan, sesuai amanat UU, setiap daerah, diharuskan 30 persen dari luas kota dijadikan sebagai lahan RTH. Dari sisi lingkungan, kata Sembah, kota Gerung dinilainya belum berkembang secara signifikan. Dengan begitu dia berharap, dari awal pihaknya ingin menata dan terpenuhinya 30 persen dari luas kota Gerung sebagai RTH. Sementara program Dishut berupa pencanangan hutan kota, menurut Sembah, merupakan bagian dari RTH. “Untuk Hutan Kota membutuhkan lahan sebesar 10 Hektar” katanya seraya menandaskan, angka tersebut belum bisa dicapai, namun ketersediaan lahan hanya dua hektar. “Dua hektar, lahan yang optimal untuk kegiatan ini” tambahnya.
Menurut Sembah, peruntukan lahan RTH ini sebenarnya dibagi lagi. 20 persen untuk umum dan 10 persen untuk pripat. Pripat yang dimaksud adalah, masyarakat yang memiliki lahan pekarangan, agar 10 persennya untuk RTH berupa taman-taman yang hijau. Dengan demikian, 30 persen dari luas kota Gerung bisa dicapai untuk program RTH ini. Dan tidak lebih dari 2,9 juta pohon yang rencananya akan ditanam pada program nasional ini.
Selain program hutan kota, pihak Dinas Kebersihan dan Tata Kota juga memiliki program yang sama. Program tersebut berupa Taman Kota. Ini juga berpotensi untuk mendukung RTH, adipura serta green school. Terhadap hal ini, program tersebut bisa dinilai konek dari sisi keteduhan, kenyamanan dan kebersihan.
Program lain dalam rangka mendukung RTH adalah, Green School. Sedikitnya 4 sekolah rencananya akan dijadikan lokasi pencanangan green school ini. Sekolah tersebut meliputi, SMA 1 dan 2 Gerung, MAN dan SMP 4 Gerung. Selain sekolah, ada sejumlah lahan instansi yang akan dijadikan lokasi pencanangan, RTH. Masing-masing PDAM, RSUD dan tanah depan sekretariat Pemda Lobar. Namun diharapkan, status tanah lokasi pencanagan ini supaya diklarifikasi. Maksudnya supaya tidak terjadi simpang siur di kemudian hari.
Di tempat yang sama, Kepala Dinas Kehutanan Lobar, Ir. Lalu Syaiful Arifin mengemukakan, jenis tanaman yang ditanam pada lokasi RTH meliputi tanaman unggulan lokal. Dirinci, tanaman yang dinilai langka adalah jenis kelicung. Karena tanaman jenis ini hanya ada di Lombok. Pohon jenis lain adalah, Rajumas. “Ini jenis yang sangat disukai oleh pengusaha kayu” cetusnya. Berikutnya adalah pohon Bae, sengon  jamplung, jabon dan trengguli.
Menurut Syaiful, pemanfaatan hutan kota dan RTH ini, selain keteduhan, pemanfaatan lainnya adalah sebagai edukasi bagi siswa pada green school. Karena hemat dia, banyak masyarakat Lombok yang belum tahu jenis kayu yang ada. Mereka hanya menikmati saja, selebihnya menjurus ke sisi edukasi jauh dari harapan. “Saya kuatir, jangankan siswa, di antara kita juga ada yang tidak tahu” cetusnya.

Pertahankan Penghargaan, Tim Adipura Lobar Siap Kerja Maksimal


Sudah menjadi komitmen bersama, Tim Adipura kabupaten Lombok Barat (Lobar), siap bekerja maksimal. Dalam rangka meraih penghargaan Adipura, tim yang dibentuk melalui surat keputusan (SK) Bupati Lobar No.977/05/BLH/2010, sudah melaksanakan sejumlah kegiatan. Selain kegiatan fisik, tim sudah melakukan sosialisasi serta evaluasi kinerja kebersihan kota pada setiap tahapan kegiatan.
Secara kriteria tehnis, kota Gerung sebagai ibukota kabupaten, diniali memenuhi syarat untuk diusulkan meraih penghargaan adipura kriteria kebersihan lingkungan kota kecil. Dengan begitu, diharapkan peran serta seluruh instansi terkait melalui sistem koordinasi yang mantap.
Penilaian tahap pertama yang digelar November mendatang, kegiatan fisik berupa gotong royong sudah dilaksanakan sesuai jadwal. Untuk bulan Oktober, gotong royong digelar sejak tanggal 15, 22 dan 29. Sedangkan bulan November, dilaksanakan tanggal 5 dan 12 yang dilakukan pada titik-titik pantau penilaian adipura. “Tim bersama seluruh komponen masyarakat sudah melaksanakan langkah-langkah awal” papar Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Drh.I Nyoman Sembah dalam sebuah pertemuan.
Menurut dia, sejak awal, tim sudah melakukan sosialisasi, termasuk penataan terminal dan pasar, gotong royong, menata areal Ruang Terbuka Hijau (RTH). Penilaian adipura ini, kata Sembah, yang dinilai bukan hanya pada peran pemerintah saja, melainkan seluruh kegiatan masyarakat kota Gerung. “Pemerintah dan masyarakat turut berpartisipasi kerja maksimal” katanya seraya menambahkan, masalah kebersihan dan keteduhan merupakan bagian kehidupan sehari-hari. “Jadi ada perubahan budaya dari pengelolaan lingkungan” lanjutnya.
Pada prinsipnya, penilaian adipura kategori kota kecil tahun 2010-2011, apapun alasannya sudah siap dijalani. Karena tim bersama seluruh komponen masyarakat sudah melakukan beberapa langkah, termasuk sosialisasi dan kegiatan fisik baik melalui Jumat bersih maupun kegiatan khusus pada titik penilaian. Untuk itu harap Sembah, minimal adipura tahun 2010-2011 ini bisa dipertahankan piagamnya. “Bila perlu ditingkatkan” katanya optimis, karena pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan sejumlah instansi terkait dalam rangka mendukung adipura ini.
Ditambahkan, adipura sagat erat kaitannya dengan masalah kebersihan dan keteduhan. Otomatis implementasinya, sejurus dengan Kebersihan dan Tata Kota yang menangani masalah sampah yang ada di seputar lokasi penialain. Sama halnya dengan Dinas Kehutanan, Sembah berharap bisa menyulap daerah menjadi RTH. Terhadap hal ini, dalam waktu dekat akan digelar rapat yang bertajuk, bagaimana membangun hutan kota.
Panilaian pemantauan pada adipura sebelumnya (2009-2010), Lobar yang diwakili kota Gerung, sudah memperoleh nilai 70,29 untuk nilai Pemanataun Pertama (P 1). Sedangkan untuk P2, meningkat menjadi 70,34. Dengan demikian angka ini masuk dalam kategori nilai ‘sedang’ yakni dari 61-70.
Penilaian  P1 adipura kota Gerung, meliputi batas Patung Sapi, Patung Koperasi serta perbatasan antara desa Dasan Geres dengan Babussalam. Kegiatan dilaksanakan pada bulan November mendatang. Sedangkan penilaian P2, dilaksanakan pada bulan Maret-April 2010. Setelah itu baru dilakukan perivikasi. “Setelah perivikasi baru bulan Juli diumumkan pemenangnya” rinci Sembah.
Optimiskah Lobar mempertahankan piagam adipura? Menurut mantan Kadis Pertanian ini, tetap optimis. Karena pada gelaran adipura sebelumnya, kota Gerung memperoleh nilai pemantauan adipura sebesar 70,12. Jika melihat situasi dan kondisi pembangunan saat ini, dimana nilai pemantauan adipura 2010-2011 diyakini meningkat. Karena kota Gerung, saat ini tengah ditata secara fisik, baik bangunan maupun fisik lingkungan kota. “Saya optimis, karena pembangunan terpusat sebagian di Gerung” katanya, termasuk merinci pembangunan akses jalan dan gapura menuju Bandara Internasional Lombok (BIL). “Dengan adanya gapura menuju BIL ini, saya optimis Gerung bisa mempertahankan adipura” lanjutnya. Karena pembangunan ini merupakan biaya sharing dengan pihak provinsi.
Dengan direalisasikannya pembangunan ini, berarti kriteria penilaian fisik maupun non fisik adipura tahun 2010-2011, ini diyakini bisa meningkat. Nilai fisik pada adipura 2010-2011, terdiri dari nilai titik pantau dan wilayah pantau dengan bobot 70:30. Sementara kriteria non fisik, dinilai dari perencanaan kota dan pengelolaan sampah.

Bupati Zaini Aroni Akhirnya Umumkan Calon Sekda Lobar

Bupati Lombok Barat (Lobar), H.Zaini Arony akhirnya buka mulut. Setelah terkatung selama beberapa bulan terakhir, orang nomor satu di Lobar tersebut, berkenan mengumumkan calon Sekda Lobar. Hal ini dikemukakan di luar teks sambutannya pada acara rapat Paripurna DPRD yang membahas tentang KUA PPAS 2011 di Gedung DPRD Lobar, Kamis (28/10).
Dihadapan Ketua dan Angota DPRD Lobar, Zaini langsung mengumumkan 4 calon Sekda. Mereka adalah, Ir. H.Rahmat Agus Hidayat (Asisten III), Ir.H.M.Taufik, M.Sc (Kepala Bappeda), Drs.H. Poniman (Kadissos) dan Drs.H.M. Uzair (Kepala BP4KPD). “Di luar kontek, perkenankan saya untuk mengumumkan calon Sekda Lobar)” paparnya seraya mengemukakan bahwa, Sekda Lobar, Drs.H.Lalu Serinata,MM akan menjalani masa pensiun sejak November mendatang.
Pada kesempatan ini, kata Zaini, pihaknya secara seksama telah mendengar seluruh opini masyarakat dan DPRD, baik disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, tim juga sudah dibentuk. Maksudnya adalah, untuk memberikan panduan dan semacam masukan kepada pihak eksekutif. Dengan begitu, lanjutnya, setelah mempertimbangkan dari segala sisi, terutama menyangkut sisi kapasitas administratif, tehnis dan kopetensi yang dimiliki. Maka tim menyepakati 4 calon tersebut yang ditetapkan. “Ke 4 calon inilah yang sudah banyak menjadi pembicaraan kalangan teman-teman dewan maupun birokrasi” kata Zaini yang disambut aplaus meriah hadirin.
Calon Sekda dimaksud, merupakan calon internal. Namun Zaini tidak menutup kemungkinan adanya calon eksternal. Calon dari luar ini, nantinya akan dikonsultasikan dengan tim yang diketuai langsung Sekda Lobar.
Diakui bupati, pelantikan calon Sekda tersebut diperkirakan pada Januari 2011. Kekosongan selama sebulan (Desember 2010, red.) tentu akan menggunakan sistim pelaksana tugas (Plt). “Kekosongan itu tidak akan lebih dari sebulan” katanya seraya bergurau, ke 4 calon Sekda diharapkan siap kalah dan siap menang. Namun sejak saat ini, bupati berharap kepada eksekutif maupun legislatif, agar memberikan masukan selama waktu lowong tersebut. Dengan begitu, tentu yang akan terpilih nantinya adalah yang terbaik di antara yang paling baik.
Usai rapat paripurna, bupati Zaini langsung dikerubungi wartawan. Terkait kualitas ke 4 calon Sekda, kata bupati, secara kualitas semuanya baik. Namun yang akan terpilih cuma satu sekda, bukan semuanya.Yang jelas dia berharap pelantikannya supaya tepat waktu.(L.Pangkat Ali)

Soe Hok Gie ( 1942-1969)

Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.


Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.


Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

Makam soe Hok Gie
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.

Catatan Seorang Demonstran

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.

Kata Kata Soe Hok Gie
  • Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
  • Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.
  • Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
  • Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
  • Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
  • Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
  • Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
  • Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
  • Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?
  • Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…
  • Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
  • Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
  • Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.
  • To be a human is to be destroyed.
  • Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
  • Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
  • I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.
  • Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
  • Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.
  • Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.
  • Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik

Garis Perak Sejarah Pergerakan Mahasiswa : Sebuah Narasi


“Only a nation with self-reliance can become a great nation”
[Soekarno, Presiden Pertama RI]
Orang bijak pernah berkata bahwa besarnya visi adalah lambang keoptimisan. Mungkin inilah yang dirasakan bangsa kita, saat kita menyatakan visi untuk menjadi negara superpower baru tahun 2030 dalam tataran kehidupan global dunia. Namun merealisasikan sebuah visi bukanlah semudah membalik telapak tangan. Perlu ada bab-bab rancangan yang jelas untuk menjadi kompas perjalanan menuju visi itu.
Perjalanan tahun 2030 memang masih menunggu waktu, namun bukan berarti diam. Indonesia butuh bergerak lewat aktor-aktor penting yang bermain didalamnya. Sejarah Indonesia telah membuktikan, peran aktor-aktor tersebut selalu diisi oleh mahasiswa yang telah menjelma menjadi manusia paripurna dalam kehidupan masyarakat.
Di dunia nyata, bervisi tanpa beraksi adalah hal yang sia-sia. Tetapi untunglah Ibu pertiwi kita masih belum lelah untuk melahirkan manusia-manusia hebatnya ke nusantara. Manusia itu hanya mengenal aksi-aksi luar biasa didalam hidupnya, yang secara tidak langsung memberikan keharuman nama untuk negara ini. Di waktu sejarahnya, mereka telah memberikan kontribusi terbesarnya untuk memalu anak-anak tangga menuju visi besar Indonesia di masa yang akan datang.
Dalam ruang dan waktu ke-Indonesia-an, anak tangga ini belumlah selesai. Sehingga tidak dapat dinafikan lagi bahwa masih dibutuhkannya pasokan manusia-manusia hebat yang bermental nasionalis dan berkompetensi tinggi untuk melanjutkan anak-anak tangga yang telah dibuat para pendahulunya. Siapakah mereka? Tentu saja merekalah yang memiliki jiwa kritis yang tinggi dan terlepas dari segala macam kepentingan: mahasiswa.
Mari dimulai pada bab kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Kemerdekaan Indonesia bukanlah dari “hadiah” dari penjajah, tapi Indonesia merdeka karena hasil perjuangan manusia-manusia hebat di dalam sejarahnya. Manusia yang memiliki transformasi ilmu-ilmu eksakta dan sosial untuk membangun negerinya, manusia yang didalam jiwanya terpatri jiwa nasionalisme yang tinggi dan terbalut dalam spiritualitas yang tak pernah diragukan lagi. Entah waktu itu istilah “mahasiswa” telah digunakan atau belum, tapi yang pasti nama itulah yang pantas disematkan untuk mereka karena mereka memenuhi kriterianya.
Maka tersebutlah nama Soekarno, Muhammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Muhammad Natsir, Muhammad Yamin, dan sederet cendekiawan lainnya yang seperti dikatakan oleh Anis Baswedan sebagai pengisi Ruling Class Tahap Pertama. Mereka bergerak dalam porsi keberanian melawan penjajah dalam bentuk fisik. Romantikanya dipenuhi oleh gebrakan-gebrakan luar biasa yang menjadi sebuah inspirasi hingga kini. Ada diantara mereka yang menggunakan cara radikal dan ada yang menggunakan cara moderat, memberikan batu pondasi sebagai pelajaran masa depan pergerakan mahasiswa. Begitulah bara api sejarah bangsa Indonesia mengajarkan kita.
Mari beralih pada bab yang satunya lagi. Ada lagi romantika lain dari negeri Indonesia yang tidak kalah pentingnya. Sebuah romantika dalam sejarah kehidupan berbangsa Indonesia untuk menumbangkan penguasa yang diktator dalam fungsi, peran dan posisinya sebagai pemerintah dalam negara demokrasi ini. Inilah kisah yang disebut para aktor-aktor Mahasiswa tahun 1998 sebagai “Masa Reformasi”.
Bersama puluhan tokoh pembaharu Indonesia, ribuan mahasiswa menjadi partikel-partikel dalam lautan aksi di depan gedung MPR berdekap fisik dengan polisi bukan untuk bergagah- gagahan, namun mereka memperjuangkan sebuah apa yang mereka sebut dengan “perubahan”. Ada warna almamater kuning, hijau, biru, merah, abu-abu, yang menjadi paduan warna menarik dalam nuansa keringat dan darah waktu itu.
Disana ada calon dokter, ada calon insinyur, ada calon saintis, ada calon sosiolog, ada calon diplomat, ada calon pengacara, dan ada calon-calon lainnya, yang sebenarnya kalau mereka mau, waktu itu bisa mereka gunakan untuk bersantai-santai di depan TV di rumah mereka, memberikan komentar layaknya komentator sepak bola TV yang handal untuk bercuap-cuap ria mengkritik pemerintah. Tapi mereka tidak melakukannya.
Dengan semangat idealisme yang tidak pernah padam, mereka menyingsikan lengan almamater mereka, bergandeng tangan untuk terus maju memberikan suara perubahan. Mereka sadar, mungkin bisa jadi saat itu adalah waktu akhir dari hidup mereka. Inilah kontribusi terbesar yang dapat mereka berikan untuk bangsa Indonesia. Mereka hanya tahu bahwa semangat mereka jauh lebih besar daripada kelelahan mereka saat itu.
Mereka mengatasnamakan rakyat Indonesia menuntut sebuah keadilan dan kebenaran, yang waktu itu hanya menjadi sebuah kamuflase yang diatur secara cerdik dan licik oleh para bedebah negeri Indonesia. Walhasil, dari sinilah titik baru dimulai. Sebuah turning point untuk membangkitkan Indonesia dari rezim “tirani” menuju “demokrasi”. Demokrasi yang bukan hanya dari refleksi dari cermin kebohongan saja, namun kembali pada makna yang seperti dikatakan oleh Aristoteles sebagai pemerintahan yang bersumber dari rakyat kepada negara.
Dari sinilah, bab pergerakan mahasiswa bertambah tugasnya, kini mahasiswa bukan hanya dituntut untuk mampu turun kejalan menyuarakan kebenaran ilmiah saja, namun kini pergerakan mahasiswa telah menambah bab-nya tersendiri, menuju suatu bab baru yang lebih menantang, yaitu bab pergerakan peningkatan kompetensi dan pergerakan nyata pada masyarakat.
 “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
[Soekarno, Presiden Pertama RI]
Sekarang mari kita buat sebuah garis perak pergerakan mahasiswa, dari titik sejarah yang lalu menuju titik masa depan Indonesia. Tidak terasa, kini umur Indonesia telah mencapai 64 tahun. Begitu pula pergerakan mahasiswa mengiringi disekitarnya. Sebenarnya dalam konteks nation-state, umur negara Indonesia masih bisa dikatakan masih remaja jika dibandingkan dengan umur Amerika Serikat, China, India, dan beberapa negara lainnya yang telah berumur ratusan bahkan ribuan tahun yang kini telah menjadi negara maju.
Namun yang menjadi pertanyaan menariknya adalah apakah ‘umur’ menentukan kesuksesan sebuah negara? Dalam sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia masih kalah jauh dari tetangga dekatnya,  Singapura, yang notabene umurnya relatif lebih mudah 20 tahun dari Indonesia. Bahkan kini Singapura pun dapat digolongkan sebagai negara maju.
Maka kini runtuhkanlah asumsi bahwa ‘umur’ merupakan dalih yang baik untuk menjadi alasan perlambatan pembangunan suatu negara. Meminjam istilah para pebisnis dunia, ada empat kunci kesuksesan sebuah negara : speed, speed, speed, and innovation. Siapa yang cepat maka dialah yang dapat. Tidak salah ketika Rhenald Kasali menyebutkan didalam bukunya Rechange Your DNA! Bahwa tersingkirnya kaum gypsy di tanah Eropa, kaum Indian di dataran Amerika, kaum Aborigin di benua Australia, terjadi karena kelambanan mereka untuk berinovasi.
Bapak Strategi Dunia, Kenichi Ohmae, mengatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang sudah mengeluh. Entah ini benar apa tidak, tapi setidaknya bukti empirik telah mencoba mencuatkan bukti-buktinya. Mulai dari bidang ekonomi hingga bidang olahraga memang sudah terlihat tanda-tandanya.Apapun yang terjadi di bangsa ini, selalu saja dihadapi dengan keluhan. Ya dengan presidennya, ya dengan jajaran pemerintahannya, ya dengan media massanya, ya dengan rakyatnya pula. Tampaknya kosakata ‘keluhan’ telah merasuk dalam pikiran sejumlah bangsa ini.
Sebenarnya keadaan Indonesia ini dapat dikorelasikan dengan keadaan Jepang saat luluh lantak setelah di bom oleh Amerika Serikat. Saat itu keadaan Jepang bukan kepalang. Infrastrukturnya hancur, pemerintahan kacau, rakyatnya terlunta-lunta, dan beberapa sektor lainnya juga ikut berada di ujung tanduk. Yang jadi pertanyaan menariknya adalah mengapa Jepang bisa semaju seperti sekarang? Padahal pembangunan infrastruktur kedua negara ini hampir sama, kurang lebih di tahun 1945.
Memang harus banyak analisis yang multiperspektif agar dapat menilai bagaimana cara Jepang bisa maju seperti sekarang. Tapi marilah kita tinjau dari pergerakan mahasiswanya. Sedikit berbeda dengan gerakan mahasiswa Indonesia yang memulainya dari bottom-up, di Jepang memakai pola kebalikan dari pergerakan mahasiswa Indonesia (up-bottom). Kaisar Hirohito mendorong para mahasiswanya bersekolah diluar negeri untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya hingga nanti dapat kembali di baktikan ke Jepang.
Dalam keadaan seperti ini, tampaknya Hirohito faham benar apa maksud dari “Iron Stock” dalam konsep fungsi, peran, dan posisi negaranya. Walhasil, kerja sang kaisar tidak sia-sia. Para cendikiawannya berbalik pulang ke Jepang dan mulai kembali merekatkan puing-puing peradaban bangsanya. Hari ini kita telah melihat negara Jepang sebagai negara adidaya yang tidak bisa lagi diremehkan. Satu pelajaran tercatat disini, bahwa kompetensi bidang mahasiswa sangat menentukan peradaban bangsanya..
Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri. Dahulu para aktivis mahasiswa harus mengorbankan waktu kelulusan kuliah mereka hingga bertahun-tahun lamanya karena tantangan waktu dosen yang terbatas dan perjuangan radikal mereka bergelut dengan penjajah dan pemerintah yang otoriter. Sekarang kita dapat melihat kurikulum yang telah rapi, dosen yang mumpuni, dan pemerintah yang tidak seotoriter dahulu, kini diperlukan gebrakan pembuatan sistem dan paradigma baru dalam dunia mahasiswa, karena tantangan zaman kita sangat berbeda dengan tantangan dizaman mereka. Sudah saatnya kini bangsa kita meningkatkan daya saingnya melalui mahasiswa-mahasiswanya yang berprestasi.
Istilahnya seperti ini, “seorang mahasiswa tidak hanya dituntut bisa turun kejalan saja, namun ia dapat menjadi seorang yang ahli dalam bidang yang dia geluti selama menjadi mahasiswa pula.” Dari sinilah, terdapat tantangan baru di dunia pergerakan mahasiswa Indonesia yaitu bagaimana pergerakannya itu juga mampu menjadi stimulan pengayaan kompetensi mereka sebagai seorang mahasiswa.
Saat ini bangsa Indonesia telah terbebas dari penjajahan fisik. Namun penjajahan dari imperialisme barat belumlah berakhir. Hingga detik ini bentuk penjajahan imperialisme barat terus menggerogoti bangsa ini melalui cara-cara post-modernnya. Momentum globalisasi dan perkembangan media maya menjadi senjata ampuh yang digunakan imperialis barat untuk kembali menjajah bangsa ini.
Jika dulu, penjajah menggunakan kongsi dagang seperti VOC milik Belanda atau EIC milik Inggris untuk mengkungkung perekonomian negara jajahannya, maka sekarang mereka cukup memberikan pinjaman luar negeri pada sebuah negara agar negara itu tunduk pada sang penjajah. Hal ini telah dijelaskan dengan detail oleh ekonom dunia, John Perkins, didalam bukunya yang berjudul Confessions of Economic Hitman. Saat ini, kita telah melihat bahwa banyak putusan-putusan pemerintah Indonesia yang selalu tidak bisa bebas dari campur tangan asing.
Jika dulu, penjajah harus menyusupkan seorang mata-mata untuk merusak budaya sebuah bangsa, seperti disusupkannya Snouck Hurgronje dalam kehidupan kesultanan Aceh yang kemudian merusak sendi-sendi kehidupan islam disana. Maka kini, hanya dengan menggunakan media maya saja maka pengrusakan budaya sebuah bangsa dapat dilakukan secara lembut namun dampaknya tidak kalah dengan yang terjadi seperti yang dulu-dulu. Saat ini, kita dapat melihat dengan jelas bobroknya budaya bangsa kita ini tanpa harus sembunyi-sembunyi lagi.
Disinilah tantangan baru gerakan mahasiswa Indonesia dimulai. Bangsa ini terjangkit berbagai permasalahan multidimensi yang kompleks. Perlu suatu ada gerakan mahasiswa yang tertata rapi menghadapi setiap perannya di mata bangsa ini. Dia adalah ‘Iron Stock’, dia adalah ‘Guardian of Value’, dia adalah ‘Agent of Change’.
Inilah dia pergerakan mahasiswa Indonesia. Selama masih ada masalah yang menjadi batas antara harapan dan realita bangsa, maka selama itu pula roda pergerakan mahasiswa terus berputar. Bahan bakarnya adalah teriakan rakyat, mesinnya adalah intelektual mereka, dan pelumasnya adalah idealisme.

KEMANA ARAH PERJUANGAN MAHASISWA SAAT INI??????

GERAKAN mahasiswa dalam sejarah perubahan peradaban dunia berkali-kali telah menorehkan tinta emasnya. Dimulai pada awal abad ke-12 dengan berdirinya Universitas Bologna di Paris. Saat itu lebih dikenal dengan semboyan ‘Gaudeamus Igtiur, Juvenes Dum Sumus” (kita bergembira, selagi masih muda). Pergerakan mahasiswa senantiasa memberikan pencerahan baru dalam setiap sikapnya tak terkecuali di Indonesia, salah satu elemen yang turut membawa negara ini merdeka ialah kaum muda (baca: mahasiswa).

Gerakan pemuda di Indonesia ini dimulai dengan Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Namun, istilah pemuda tersebut mengalami spesialisasi dengan sebutan mahasiswa, sosok yang memiliki kadar intelektual tinggi. Hal ini sah-sah saja karena untuk mengadakan perubahan bangsa tidak cukup dengan semangat ‘muda’ dituntut juga intelektual yang mumpuni dan yang menjadikan nilai lebih mahasiswa adalah gerakan mereka relatif bebas dari berbagai intrik politik. Sebut saja kedudukan, jabatan dan bahkan kekayaan

Peran mahasiswa pada angkatan 66, 74 dan 98 telah memberikan label The Agent of Social Control. Apalagi perjuangan mereka tidak lain adalah penyalur lidah masyarakat yang tertindas pada masa rezim tertentu. Kekuatan moral yang terbangun lebih disebabkan karena mahasiswa yang selalu bergerak secara aktif. Seperti dengan turun ke jalan demi berteriak menuntut keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak wong cilik.

Namun seiring perjalanan waktu gerakan mahasiswa akhir-akhir ini seperti kehilangan gregetnya, aksi-aksi penentangan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat tidak lagi mampu mengundang simpati mereka. Bahkan rakyat cenderung beranggapan -- mahasiswa cuma bisa ngomong dan demo melulu. Apalagi ditemukan beberapa kasus demo bayaran. Terlebih dengan ulah mahasiswa pada saat Pilkada di beberapa daerah akhir-akhir tahun ini. Belum lagi perilaku-perilaku negatif kian marak dibawa sebagian mahasiswa ke dalam lingkungan sekitar kampus, sehingga dengan memukul rata rakyat semakin yakin akan ‘kemunafikan’ mahasiswa.

Faktor-faktor eksternal di atas semakin kompleks dengan permasalahan internal yang dihadapi oleh hampir semua organisasi pergerakan yaitu sepinya kader baru. Kader sebagai SDM organisasi memegang peranan vital menyangkut mati hidupnya organisasi.

Hal ini disebabkan kebijakan pendidikan di Indonesia yang mulai berkiblat pada kapitalisme dan liberalisme. Pembatasan masa studi dan biaya SPP yang membumbung tinggi adalah bukti konkretnya.

Sudah saatnya para aktivis pergerakan mengubah orientasi dengan menegedepankan nuansa gerakan intelektual (intellectual movement) selain gerakan masa dalam menuntaskan cita-cita yang diawali dengan ikrar sumpah pemuda.

Secara hakiki, gerakan mahasiswa adalah gerakan intelektual—jauh dari kekerasan dan daya juang radikalisme. Mengingat, gerakan ini bermuara dari kalangan akademis kampus—cenderung mengedapankan rasionalitas dalam menyikapi perbagai permasalahan. Dalam perspektif penulis, gerakan intelektual (intellectual movement) akan terbangun di atas Trias Tradition (tiga tradisi).

Pertama, terbangun diatas tradisi diskusi (Discussion Tradition). Gerakan mahasiswa harus memperbanyak ruang diskusi—pra-pasca pergerakan. Diskusi akan membawa gerakan mahasiswa menjadi sebuah gerakan rasional dan terpercaya—ciri khas gerakan mahasiswa. Lantaran itu, elemen masyarakat secara umum akan lebih menghargai isu-isu diusung oleh gerakan mahasiswa.
Seperti dalam menurunkan demonstrasi, elemen gerakan mahaiswa harus mengkaji lebih detil—apa, mengapa, akibat dan latar belakang—kebijakan pemerintah harus ditentang. Dari kajian-kajian dalam bentuk diskusi lepas dengan mengundang para pakar dibidang-bidang berkaitan dengan agenda aksi, akan mampu melahirkan gagasan-gagasan dan analisa cemerlang.
Hari ini, Aktualisasi dan keakuratan data sangat penting bagi gerakan mahasiswa dalam mengkritisi dan bertindak. Sebagaimana kita ketahui zaman semakin maju sehingga dalam mengungkap sesuatu atau menghujam kritik harus berdasar, jelas, akurat dan terpercaya, tanpa itu sulit bagi gerakan mahasiswa dalam menyakinkan rakyat dalam menyalurkan aspirasi.
Kedua, terbangun diatas tradisi menulis (Writing Tradition). Aktivitas menulis merupakan salah satu gerbang menuju tradisi intelektual bagi gerakan mahasiswa. Sejak dulu sampai kini, tokoh dan intelektual bangsa Indonesia—bernotabene mantan tokoh aktivis pemuda dan mahasiswa, banyak melemparkan gagasan atau ide-ide cemerlang, kritikan tajam dan membangun wacana dalam bentuk tulisan.
Sebut saja nama tokoh-tokoh populer seperti, Bung Karno, Bung Hatta, M. Natsir—era pra kemerdekaan; Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholis Madjid, Deliar Noer, Hariman Siregar, Arief Budiman—era 60 sampai 80-an; Anas Urbaningrum, Eef Saefulloh Fatah, Kamarudin, Andi Rahmat (era 90-an) dan lain-lain.
Bila kita balikkan ke pergerakan mahasiswa, mendukung dan menggalakkan melemparkan isu-isu lewat tulisan perlu perhatian serius. Karena, mewacanakan isu-isu melalui media cetak dapat dibaca oleh kalangan lebih luas—dalam artian lebih efefktif untuk menyebarkan gagasan atau wacana ke seluruh pelosok persada nusantara, bahkan sampai manca negara.
Hal ini bersinergi dengan peran mahasiswa Indonesia, meminjam istilah Michael Fremerey (1976) "Gerakan korektif", selain diorasikan melalui mimbar bebas dalam aksi demonstrasi juga dapat diwujudkan bagi tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa dalam bentuk tulisan di Media Massa.
Lebih jauh, dalam buku Bergerak! (Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto) Satrio Arimunandar mengemukakan bahwa gerakan mahasiswa di Indonesia tak bisa lepas dari dukungan penuh media massa untuk menggapai hasil maksimum dalam perjuangan. Sebagai misal, momentum penurunan rezim Orde Lama (ORLA), gerakan mahasiswa di dukung koran mahasiswa populer "Mahasiswa Indonesia" atau ketika gerakan mahasiswa menurunkan rezim Orde Baru (ORBA) di dukung penuh Buletin Bergerak (Media Aksi Mahasiswa UI), dalam menyebarkan seputar agenda atau wacana gerakan mahasiswa. Hal ini penting, untuk membangkitkan naluri mahasiswa dalam perjuangan menumpas kezhaliman dan kebatilan.
Angin segar bagi pergerakan mahasiswa, akhir-akhir ini tulisan-tulisan tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa (Ketua Umum Organisasi Kemahasiswaan atau Pemuda, Presiden Mahasiswa Universitas dan lain-lain) pernah menghiasi media massa, seperti Ubaidillah (Mantan Ketum PMII Cab. Ciputat) “Menuju Pemilu 2004 ” - Majalah UIN 24 pebruari 2004; Mamanto Fani (Ketua Umum KAMMI Daerah Sumbar 03-05) 'Mahasiswa Aceh Kembalilah'—24 februari 2005;

Selain itu, Yuli Widy Astono (Ketua Umum KAMMI Pusat 2005-2007) 'Nasionalisme Indonesia (Tawaran Membangun Trend Baru Gerakan Mahasiswa)'—majalah SAKSI 12 Oktober 2005; Azman Muammar (Ketua Umum BEM UI 2005-2006) 'Demokrasi Diambang Batas'—majalah SAKSI 28 September 2005; Irwan Suwandi SN (Presiden Mahasiswa UNAND) 'Orang Miskin Dilarang Sekolah'—Majalah SAKSI edisi Februari 2006; dan lain-lain.
Menyikapi tulisan-tulisan diatas, penulis berani berspekulasi bahwa tulisan-tulisan para tokoh aktivis pergerakan mahasiswa (Ketua Umum Organisasi Kemahasiswaan atau Pemuda, Presiden Mahasiswa dan lain-lain) tersebut sangat berarti dan berpengaruh bahkan bisa menjadi acuan bagi pergerakan mahasiswa Indonesia.
Ketiga, terbangun diatas tradisi membaca (Reading Tradition). Aktualisasi isu sangat penting bagi gerakan mahasiswa dalam bergerak. Begitu cepat pergeseran berita dan opini publik, memaksa kita untuk senantiasa membaca—kalau tidak akan tertinggal. Kesibukan bukan alasan tepat untuk tidak membaca, di mana atau kapan pun bisa kita luang waktu untuk membaca—antri mengambil karcis, di bus, menjelang demonstrasi dan lain-lain.

Sebuah harapan, gerakan mahasiswa juga bisa mewacanakan semacam 'Gerakan Gemar Membaca" dan disosialisasikan secara luas. Cara ini, dapat menunjukkan gerakan mahasiswa ikut membantu pemerintah dalam membuka kunci gembok kebodohan serta berperan menyelesaikan problem pendidikan Indonesia nyaris tak kunjung terselesaikan ini.
Dari berbagai permasalahan yang dihadapi dunia pergerakan, mahasiswa dengan pergerakannya perlu mengubah paradigma perjuangannya untuk tetap bisa eksis sehingga rakyat kembali menaruh kepercayaan.
Tema-tema perjuangan dan gerakan moralitas, pencerdasan kaum pinggiran, pengentasan kemiskinan serta isu-isu sosial lainnya akan lebih terasa dampak manfaatnya terhadap masyarakat kita. Jika selama ini sumbangsih pergerakan mahasiswa sebatas usulan, demo dan pengontrol maka ke depannya dituntut sebagai pelaku dan bahkan mungkin penentu.
Namun perubahan paradigma dunia pergerakan mahasiswa hendaknya tidak mengurangi fungsinya sebagai The Agent of Social Control serta motor penggerak pembaharu yang tetap peduli dan berpihak kepada masyarakat bawah karena sampai kapan pun mahasiswa dengan semangat mudanya akan tetap memegang peranan penting dalam mengontrol kebijakan-kebijakan publik agar tetap memikirkan akar rumput dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Salam perjuangan... FRONT MAHASISWA LOMBOK BARAT

Rabu, 27 Oktober 2010

MAHASISWA, INTELEKTUALISME DAN ANARKISME

Sangat banyak fakta sejarah mendeskripsikan betapa Mahasiswa memiliki peran penting mengubah sejarah kebangsaan dan perjalanan reformasi dalam konstalasi bangsa dan Negara. Ya, Mahasiswa adalah sosok istimewa dari masa kemasa, baik di Negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia.
Fakta membuktikan bahwa Mahasiswa-lah yang mempelopori Revolusi 1956 di Hongaria. Gelombang demo anti perang 1962 – 1970 di Eropa dan Amerika Serikat memaksa Presiden Richard Nixon menarik pasukan dari Vietnam dan Kamboja. Revolusi Iran pun pada tahun 1979 berawal dari demo di Kampus-kampus
Mahasiswa sebagai salah satu gerakan moral berperan penting sebagai pelopor perubahan di tanah air. Oleh karena itu, wajar jika sepak terjang Mahasiswa selalu dijadikan tolak ukur dalam setiap geliat perubahan yang terjadi hampir di seluruh Negara.
Di Indonesia, sebut saja gerakan angkatan 66, gerakan ini adalah awal kebangkitan Gerakan Mahasiswa secara Nasional, dimana sebelumnya gerakan-gerakan Mahasiswa masih bersifat Kedaerahan. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung Mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesa).
Kemudian, gerakan Mahasiswa angkatan 1972 menolak produk Jepang dan Sinisme terhadap warga keturunan. Gerakan angkatan ini dikenal dengan terjadinya peristiwa Malari (Malapetaka lima belas Januari)
Selanjutnya, gerakan Mahasiswa era 90-an mencuat dengan agenda Reformasi-nya yang mencapai klimaksnya pada 1998. kala itu, Mahasiswa mendapat simpati dan dukungan yang luar biasa dari rakyat yang berhasil menumbangkan Orde Baru dengan ditandai lengsernya kekuasaan 32 tahun Soeharto dari kursi Kepresidenan.
Sejalan dengan perputaran waktu, ruh pergerakan dan perjuangan tokoh Mahasiswa dahulu seperti zaman Soe Hok Gie, Arif Budiman, hingga aktifis 98 dan kini kelihatannya telah mengalami pergeseran nilai.
Aksi Mahasiswa yang dahulunya berupa pergerakan yang Intelek, Analitis dan mengedepankan Nalar Positif, saat ini Mahasiswa sering dimanfaatkan sebagai alat permainan isu dan Management konflik oleh pihak yang berkepentingan dan kerap berakhir dengan tindakan Anarkis.
Kerusuhan Mahasiswa yang sering terjadi di beberapa daerah memperlihatkan betapa Mahasiswa masih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis dan tindakan Anarki antar Mahasiswa yang sering dipertontonkan adalah kenyataan Riil dari potret Mahasiswa kita saat ini.
Gerakan Mahasiswa tidak lagi merumuskan Isu-isu yang bersifat kerakyatan yang membela Kepentingan Masyarakat banyak. Sejatinya, Mahasiswa sebagai Organ Intelektual senantiasa mengaktualisasikan segenap pemikirannya untuk suatu hal positif yang fungsinya sebagai Agent of Change, Sosial Control dan Man of Analize sepantasnya melakukan gerakan melalui metode yang lebih cerdas dan intelek.
Hari-hari belakangan ini, aksi Mahasiswa sedang dalam sorotan di berbagai Media Nasional. Anarkisme seolah menjadi Opini Publik yang menjadi ciri setiap Mahasiswa yang sedang berunjuk rasa.
Aksi tawuran dan demonstrasi Mahasiswa, baik itu antara Mahasiswa dengan aparat Keamanan, dengan warga ataupun antar Mahasiswa itu sendiri yang tidak hanya adu fisik dan argument, aksi demokrasi kerap berakhir anarkis, pemblokiran jalan umum, pengrusakan fasilitas umum bahkan tidak jarang menelan korban jiwa.
Aksi unjuk rasa itu sendiri tidak salah karena ia merupakan perwujudan dari kehendak untuk mengeluarkan pendapat yang dilindungi Undang-undang. Tapi perbuatan yang bersifat Anarkis mestinya dihidari.
Aksi dan pergerakan yang diwarnai dengan Konfrontasi fisik dan menyudutkan pergerakan Mahasiswa dan menimbulkan Stigma negative akan gerakan Mahasiswa. Stigma negative yang dilengketkan kepada gerakan Mahasiswa tersebut menghancurkan tatanan ideal yang menjadi karakter Mahasiswa itu sendiri.
Sejatinya, gerakan Mahasiswa adalah sebuah perjuangan untuk kepentingan rakyat, namun penutupan jalan dan pengerusakan fasilitas umum jelas akan merubah persepsi masyarakat yang awalnya menganggap Mahasiswa sebagai Komunitas Intelek menjadi Komunitas pelaku Kriminlitas dan tindakan keonaran.
Selain itu, kekhawatiran akibat seringnya aksi anarkis terjadi di berbagai daerah Indonesia yang dikenal memiliki budaya yang arif dan suka menghargai orang lain, hal itu juga dirasakan terhadap sendi-sendi pemerintahan seperti investasi dan kegiatan pariwisata.
Oleh karena itu, tawuran mahasiswa harus menjadi PR serius bagi dunia pendidikan, karena perilaku tawuran seperti ini akan terus berlangsung sepanjang hal ini tidak ditangani secara komprehensif, dan pada satu sisi akan menunjukkan ambruknya sistem dunia pendidikan.
Peran lembaga pendidikan sangat diperlukan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh mahasiswa dari dunia perguruan tinggi dengan bisnis utama pendidikan dan penelitian menjadi sangat penting bagi kita semua, utamanya bagi generasi mendatang.

SEJARAH SINGKAT KABUPATEN LOMBOK BARAT

Di usianya yang ke-52, Kabupaten Lombok Barat telah banyak berbenah dan banyak hal perubahan yang dialaminya, diantaranya telah melahirkan dua anak yakni Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Utara (KLU).

Pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Wilayah Kabupaten Lombok Barat merupakan salah satu Onder Afdeling di bawah Afdeling Lombok yakni Onder Afdeling Van West Lombok yang dipimpin oleh seorang Controleur. Onder Afdeling menurut Hierarkhi kelembagaan sama dengan Regenschap ( Kabupaten ).

Selanjutnya pada zaman Pemerintah Jepang, status Lombok Barat berubah menjadi daerah administratif yang disebut Bun Ken yang dikepalai oleh seorang Bun Ken Kanrikan. Status ini berlangsung sampai Jepang menyerahkan kekuasaan kepada sekutu Belanda (NICA). Di bawah Pemerintah NICA, wilayah Indonesia Timur dijadikan beberapa wilayah adminisratif yang dinamakan Neo Landschappen termasuk di dalamnya semua bekas Afdelings ( Stb. No.15 th.1947). Di dalam wilayah Neo Landschap Lombok, wilayah Lombok Barat merupakan salah satu wilayah administratif yang dipimpin oleh seorang Hoofdvan Plastselijk Bestuur sebagai perubahan nama dari controleur. Namun sesudah Konfrensi Meja Bundar dan berlangsung pemulihan kekuasaan Negara RI pada tanggal 27 Desember 1949, maka berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri atas beberapa Negara Bagian, di antaranya Negara Indonesia Timur (NIT).

Menurut Undang-undang Pemerintahan Daerah NIT No.44 Tahun 1950 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa wilayah administratif Lombok Barat menjadi daerah bagian yang otonom. Namun dalam prakteknya, otonomi ini tidak pernah terlaksana sepenuhnya karena tidak dipimpin oleh Kepala Daerah Bagian melainkan oleh seorang Kepala Pemerintahan setempat yang sifatnya administratif belaka.

            Pada masa ini Daerah Lombok Barat membawahi wilayah administratif kedistrikan Ampenan Barat, Kedistrikan Ampenan Timur, Kedistrikan Tanjung, Kedistrikan Bayan, Kedistrikan Gerung, Asisten Kedistrikan Gondang dan Kepunggawaan Cakranegara. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 di mana daerah Indonesia dibagi habis dalam daerah Swatantra Tingkat I, Tingkat II, dan Tingkat III. Selanjutnya berdasarkan UU No.1 Tahun 1957, lahirlah UU No. 64 dan 69 tahun 1958 masing-masing tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Bali, NTB dan NTT serta Daerah Tingkat II di dalam wilayah Daerah Tingkat I yang bersangkutan yang diundangkan pada tanggal 14 Agustus 1958. Oleh karena itu secara yuridis Daerah Swatantra Tingkat II Lombok Barat sudah terbentuk sejak 14 Agustus 1958.

dan dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Up. 7/14/34 diangkatlah J.B. Tuhumena Maspeitella sebagai Pejabat sementara Kepala Daerah Swatantra Tk. II Lombok Barat pelantikannya dilaksanakan pada tanggal 17 April 1959 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun Pertama Kabupaten Lombok Barat.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1978 tentang Pembentukan Kota Administratif Mataram yang membawahi tiga Kecamatan masing-masing Kecamatan Ampenan, Kecamatan Mataram dan Kecamatan Cakranegara, sehingga wilayah Kabupaten Lombok Barat terdiri dari 1 kota Administratif, 9 Kecamatan dan 3 Perwakilan Kecamatan. Sejak ditetapkannya Kota Administratif Mataram menjadi Kotamadya Mataram, Wilayah Kabupaten Lombok Barat berkurang dari 12 Wilayah kecamatan menjadi 9 Kecamatan.

Pada masa Bupati Lombok Barat dipimpin oleh Drs. H. Iskandar untuk masa jabatan pertama (1999-2004), dibentuk 4 Kecamatan pembantu yaitu Kecamatan pembantu Lingsar, Kecamatan Lembar, Kecamatan Kayangan dan Kecamatan Pembantu Pemenang. Dengan demikian jumlah wilayah Lombok Barat terdiri atas 9 Kecamatan dan 4 Kecamatan Pembantu. Selanjutnya dengan Perda Nomor 10 Tahun 2001 keempat Kecamatan Pembantu tersebut ditingkatkan statusnya menjadi Kecamatan dan dengan perda Nomor 13 Tahun 2001 dimekarkan lagi 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Kuripan dan Kecamatan Batu Layar, sehingga Wilayah Kabupaten Lombok Barat menjadi 15 Kecamatan.

Berdasarkan PP. No. 62 Tahun 2000, Ibu Kota Kabupaten Lombok Barat secara resmi dipindahkan dari Kota Mataram ke Kota Gerung ditandai dengan Hijrah pada tanggal 14 Oktober 2002 yaitu Gerak Jalan bersama yang diikuti oleh unsur Muspida dan seluruh Pejabat beserta Karyawan/karyawati di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat.

Pada masa Drs. H. Iskandar menjabat Bupati Lombok Barat sudah banyak keberhasilan yang dicapai, baik dalam bidang pembangunan maupun dalam bidang peningkatan kesejahteraan masyarakat, diantaranya Pembangunan Kantor Bupati Lombok Barat dan Kantor Dinas/Instansi se-Kabupaten Lombok Barat, Rumah Sakit Umum Daerah Patut Patuh Patju, Komplek Perumahan Pemda Lobar dan masih banyak keberhasilan lainnya.

Dengan ditetapkannya Undang - Undang No. 26 Tahun 2008  Tentang Pembentukan Daerah Otonom Baru maka pada tanggal 30 Desember 2008 Kabupaten Lombok Utara diresmikan oleh Mendagri yang diikuti dengan penunjukan Penjabat Bupati Lombok Utara. Dengan demikian sekarang ini Kabupaten Lombok Barat terbagi dalam 10 Kecamatan serta 88 Desa dan Kabupaten Lombok Utara terbagi dalam 5 Kecamatan serta 33 Desa.

 Pada tanggal 23 April 2009 resmi dilantiknya Dr. H. Zaini Arony, M.Pd dan H. Mahrip, SE, MM menjadi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Barat untuk periode 2009-2014 yang dipilih secara langsung oleh masyarakat Kabupaten Lombok Barat. Sejak dibentuknya Kabupaten Lombok Barat telah dipimpin oleh beberapa Bupati diantaranya :

   JB. Tuhumena Maspaitela           Lalu Anggrat, BA                           Drs. Said

                (1959-1960)                                      (1960-1965)                             (1966-1972)

                                                                                 

H. L. A. Rahman                  Drs. H.L. Ratmadji                    Drs. H. Mudjitahid

    (1972-1978)                              (1979-1989)                                     (1989-1999),

        Drs. H. Iskandar                           H. M. Izul Islam                  Dr. H. Zaini Arony, M.Pd

            (1999-2008)                                (2008-2009)                        (2009-sekarang).


Kabupaten Lombok Barat adalah termasuk dari salah satu kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Daerah ini memiliki sumber daya alam yang begitu besar dan melimpah, keragaman adat, budaya, suku dan Kepercayaan Masyarakatnya menjadikan daerah Lombok Barat memilki daya tarik tersendiri. Keragaman tersebut tersebar di 10 (sepuluh) Kecamatan yang memilki daya khas atau Karaktristik masing – masing, serta di dorong dengan sumber daya manusia yang berpotensi untuk membangun daerahnya. Kemampuan daerah kabupaten Lombok barat tidak dapat di ragukan lagi,  indikatornya adalah kabupaten ini telah di tetapkan oleh pemerintah sebagai salah satu lumbung padi Nasional.
Agenda utama pemerintahan dibawah Kepemimpinan Dr. H. Zaini Arony, M.Pd dan H. Mahrip, SE, MM menjadi Bupati dan Wakil Bupati adalah Demokratisasi Politik, Sosial, Cultural dan Demokratisasi Ekonomi dengan melakukan percepatan (Akselerasi) Pembangunan. Dengan VISI Terwujudnya Masyarakat Lombok Barat Yang Maju, Mandiri Dan Bermartabat Dengan Dilandasi Nilai-Nilai Patut Patuh Patju” serta MISI pengembangan daerah meliputi :

1.        Mengembangkan masyarakat Lombok Barat yang ber-akhlakul karimah, berbudaya, dan demokratis
2.        Meningkatkan optimalisasi pelayanan pendidikan dan kesehatan secara berkeadilan, berkualitas dan berkesinambungan
3.        Mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berbasis pada sumberdaya lokal, pengembangan investasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan
4.        Mempercepat pemerataan pembangunan infrastruktur wilayah melalui keseimbangan penataan ruang & adaptabilitas perubahan lingkungan hidup
5.        Memantapkan penegakan supremasi hukum, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, & peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan daerah.