“Only a nation with self-reliance can become a great nation”
[Soekarno, Presiden Pertama RI]
Orang bijak pernah berkata bahwa besarnya visi adalah lambang keoptimisan. Mungkin inilah yang dirasakan bangsa kita, saat kita menyatakan visi untuk menjadi negara superpower baru tahun 2030 dalam tataran kehidupan global dunia. Namun merealisasikan sebuah visi bukanlah semudah membalik telapak tangan. Perlu ada bab-bab rancangan yang jelas untuk menjadi kompas perjalanan menuju visi itu.
Perjalanan tahun 2030 memang masih menunggu waktu, namun bukan berarti diam. Indonesia butuh bergerak lewat aktor-aktor penting yang bermain didalamnya. Sejarah Indonesia telah membuktikan, peran aktor-aktor tersebut selalu diisi oleh mahasiswa yang telah menjelma menjadi manusia paripurna dalam kehidupan masyarakat.
Di dunia nyata, bervisi tanpa beraksi adalah hal yang sia-sia. Tetapi untunglah Ibu pertiwi kita masih belum lelah untuk melahirkan manusia-manusia hebatnya ke nusantara. Manusia itu hanya mengenal aksi-aksi luar biasa didalam hidupnya, yang secara tidak langsung memberikan keharuman nama untuk negara ini. Di waktu sejarahnya, mereka telah memberikan kontribusi terbesarnya untuk memalu anak-anak tangga menuju visi besar Indonesia di masa yang akan datang.
Dalam ruang dan waktu ke-Indonesia-an, anak tangga ini belumlah selesai. Sehingga tidak dapat dinafikan lagi bahwa masih dibutuhkannya pasokan manusia-manusia hebat yang bermental nasionalis dan berkompetensi tinggi untuk melanjutkan anak-anak tangga yang telah dibuat para pendahulunya. Siapakah mereka? Tentu saja merekalah yang memiliki jiwa kritis yang tinggi dan terlepas dari segala macam kepentingan: mahasiswa.
Mari dimulai pada bab kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Kemerdekaan Indonesia bukanlah dari “hadiah” dari penjajah, tapi Indonesia merdeka karena hasil perjuangan manusia-manusia hebat di dalam sejarahnya. Manusia yang memiliki transformasi ilmu-ilmu eksakta dan sosial untuk membangun negerinya, manusia yang didalam jiwanya terpatri jiwa nasionalisme yang tinggi dan terbalut dalam spiritualitas yang tak pernah diragukan lagi. Entah waktu itu istilah “mahasiswa” telah digunakan atau belum, tapi yang pasti nama itulah yang pantas disematkan untuk mereka karena mereka memenuhi kriterianya.
Maka tersebutlah nama Soekarno, Muhammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Muhammad Natsir, Muhammad Yamin, dan sederet cendekiawan lainnya yang seperti dikatakan oleh Anis Baswedan sebagai pengisi Ruling Class Tahap Pertama. Mereka bergerak dalam porsi keberanian melawan penjajah dalam bentuk fisik. Romantikanya dipenuhi oleh gebrakan-gebrakan luar biasa yang menjadi sebuah inspirasi hingga kini. Ada diantara mereka yang menggunakan cara radikal dan ada yang menggunakan cara moderat, memberikan batu pondasi sebagai pelajaran masa depan pergerakan mahasiswa. Begitulah bara api sejarah bangsa Indonesia mengajarkan kita.
Mari beralih pada bab yang satunya lagi. Ada lagi romantika lain dari negeri Indonesia yang tidak kalah pentingnya. Sebuah romantika dalam sejarah kehidupan berbangsa Indonesia untuk menumbangkan penguasa yang diktator dalam fungsi, peran dan posisinya sebagai pemerintah dalam negara demokrasi ini. Inilah kisah yang disebut para aktor-aktor Mahasiswa tahun 1998 sebagai “Masa Reformasi”.
Bersama puluhan tokoh pembaharu Indonesia, ribuan mahasiswa menjadi partikel-partikel dalam lautan aksi di depan gedung MPR berdekap fisik dengan polisi bukan untuk bergagah- gagahan, namun mereka memperjuangkan sebuah apa yang mereka sebut dengan “perubahan”. Ada warna almamater kuning, hijau, biru, merah, abu-abu, yang menjadi paduan warna menarik dalam nuansa keringat dan darah waktu itu.
Disana ada calon dokter, ada calon insinyur, ada calon saintis, ada calon sosiolog, ada calon diplomat, ada calon pengacara, dan ada calon-calon lainnya, yang sebenarnya kalau mereka mau, waktu itu bisa mereka gunakan untuk bersantai-santai di depan TV di rumah mereka, memberikan komentar layaknya komentator sepak bola TV yang handal untuk bercuap-cuap ria mengkritik pemerintah. Tapi mereka tidak melakukannya.
Dengan semangat idealisme yang tidak pernah padam, mereka menyingsikan lengan almamater mereka, bergandeng tangan untuk terus maju memberikan suara perubahan. Mereka sadar, mungkin bisa jadi saat itu adalah waktu akhir dari hidup mereka. Inilah kontribusi terbesar yang dapat mereka berikan untuk bangsa Indonesia. Mereka hanya tahu bahwa semangat mereka jauh lebih besar daripada kelelahan mereka saat itu.
Mereka mengatasnamakan rakyat Indonesia menuntut sebuah keadilan dan kebenaran, yang waktu itu hanya menjadi sebuah kamuflase yang diatur secara cerdik dan licik oleh para bedebah negeri Indonesia. Walhasil, dari sinilah titik baru dimulai. Sebuah turning point untuk membangkitkan Indonesia dari rezim “tirani” menuju “demokrasi”. Demokrasi yang bukan hanya dari refleksi dari cermin kebohongan saja, namun kembali pada makna yang seperti dikatakan oleh Aristoteles sebagai pemerintahan yang bersumber dari rakyat kepada negara.
Dari sinilah, bab pergerakan mahasiswa bertambah tugasnya, kini mahasiswa bukan hanya dituntut untuk mampu turun kejalan menyuarakan kebenaran ilmiah saja, namun kini pergerakan mahasiswa telah menambah bab-nya tersendiri, menuju suatu bab baru yang lebih menantang, yaitu bab pergerakan peningkatan kompetensi dan pergerakan nyata pada masyarakat.
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
[Soekarno, Presiden Pertama RI]
Sekarang mari kita buat sebuah garis perak pergerakan mahasiswa, dari titik sejarah yang lalu menuju titik masa depan Indonesia. Tidak terasa, kini umur Indonesia telah mencapai 64 tahun. Begitu pula pergerakan mahasiswa mengiringi disekitarnya. Sebenarnya dalam konteks nation-state, umur negara Indonesia masih bisa dikatakan masih remaja jika dibandingkan dengan umur Amerika Serikat, China, India, dan beberapa negara lainnya yang telah berumur ratusan bahkan ribuan tahun yang kini telah menjadi negara maju.
Namun yang menjadi pertanyaan menariknya adalah apakah ‘umur’ menentukan kesuksesan sebuah negara? Dalam sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia masih kalah jauh dari tetangga dekatnya, Singapura, yang notabene umurnya relatif lebih mudah 20 tahun dari Indonesia. Bahkan kini Singapura pun dapat digolongkan sebagai negara maju.
Maka kini runtuhkanlah asumsi bahwa ‘umur’ merupakan dalih yang baik untuk menjadi alasan perlambatan pembangunan suatu negara. Meminjam istilah para pebisnis dunia, ada empat kunci kesuksesan sebuah negara : speed, speed, speed, and innovation. Siapa yang cepat maka dialah yang dapat. Tidak salah ketika Rhenald Kasali menyebutkan didalam bukunya Rechange Your DNA! Bahwa tersingkirnya kaum gypsy di tanah Eropa, kaum Indian di dataran Amerika, kaum Aborigin di benua Australia, terjadi karena kelambanan mereka untuk berinovasi.
Bapak Strategi Dunia, Kenichi Ohmae, mengatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang sudah mengeluh. Entah ini benar apa tidak, tapi setidaknya bukti empirik telah mencoba mencuatkan bukti-buktinya. Mulai dari bidang ekonomi hingga bidang olahraga memang sudah terlihat tanda-tandanya.Apapun yang terjadi di bangsa ini, selalu saja dihadapi dengan keluhan. Ya dengan presidennya, ya dengan jajaran pemerintahannya, ya dengan media massanya, ya dengan rakyatnya pula. Tampaknya kosakata ‘keluhan’ telah merasuk dalam pikiran sejumlah bangsa ini.
Sebenarnya keadaan Indonesia ini dapat dikorelasikan dengan keadaan Jepang saat luluh lantak setelah di bom oleh Amerika Serikat. Saat itu keadaan Jepang bukan kepalang. Infrastrukturnya hancur, pemerintahan kacau, rakyatnya terlunta-lunta, dan beberapa sektor lainnya juga ikut berada di ujung tanduk. Yang jadi pertanyaan menariknya adalah mengapa Jepang bisa semaju seperti sekarang? Padahal pembangunan infrastruktur kedua negara ini hampir sama, kurang lebih di tahun 1945.
Memang harus banyak analisis yang multiperspektif agar dapat menilai bagaimana cara Jepang bisa maju seperti sekarang. Tapi marilah kita tinjau dari pergerakan mahasiswanya. Sedikit berbeda dengan gerakan mahasiswa Indonesia yang memulainya dari bottom-up, di Jepang memakai pola kebalikan dari pergerakan mahasiswa Indonesia (up-bottom). Kaisar Hirohito mendorong para mahasiswanya bersekolah diluar negeri untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya hingga nanti dapat kembali di baktikan ke Jepang.
Dalam keadaan seperti ini, tampaknya Hirohito faham benar apa maksud dari “Iron Stock” dalam konsep fungsi, peran, dan posisi negaranya. Walhasil, kerja sang kaisar tidak sia-sia. Para cendikiawannya berbalik pulang ke Jepang dan mulai kembali merekatkan puing-puing peradaban bangsanya. Hari ini kita telah melihat negara Jepang sebagai negara adidaya yang tidak bisa lagi diremehkan. Satu pelajaran tercatat disini, bahwa kompetensi bidang mahasiswa sangat menentukan peradaban bangsanya..
Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri. Dahulu para aktivis mahasiswa harus mengorbankan waktu kelulusan kuliah mereka hingga bertahun-tahun lamanya karena tantangan waktu dosen yang terbatas dan perjuangan radikal mereka bergelut dengan penjajah dan pemerintah yang otoriter. Sekarang kita dapat melihat kurikulum yang telah rapi, dosen yang mumpuni, dan pemerintah yang tidak seotoriter dahulu, kini diperlukan gebrakan pembuatan sistem dan paradigma baru dalam dunia mahasiswa, karena tantangan zaman kita sangat berbeda dengan tantangan dizaman mereka. Sudah saatnya kini bangsa kita meningkatkan daya saingnya melalui mahasiswa-mahasiswanya yang berprestasi.
Istilahnya seperti ini, “seorang mahasiswa tidak hanya dituntut bisa turun kejalan saja, namun ia dapat menjadi seorang yang ahli dalam bidang yang dia geluti selama menjadi mahasiswa pula.” Dari sinilah, terdapat tantangan baru di dunia pergerakan mahasiswa Indonesia yaitu bagaimana pergerakannya itu juga mampu menjadi stimulan pengayaan kompetensi mereka sebagai seorang mahasiswa.
Saat ini bangsa Indonesia telah terbebas dari penjajahan fisik. Namun penjajahan dari imperialisme barat belumlah berakhir. Hingga detik ini bentuk penjajahan imperialisme barat terus menggerogoti bangsa ini melalui cara-cara post-modernnya. Momentum globalisasi dan perkembangan media maya menjadi senjata ampuh yang digunakan imperialis barat untuk kembali menjajah bangsa ini.
Jika dulu, penjajah menggunakan kongsi dagang seperti VOC milik Belanda atau EIC milik Inggris untuk mengkungkung perekonomian negara jajahannya, maka sekarang mereka cukup memberikan pinjaman luar negeri pada sebuah negara agar negara itu tunduk pada sang penjajah. Hal ini telah dijelaskan dengan detail oleh ekonom dunia, John Perkins, didalam bukunya yang berjudul Confessions of Economic Hitman. Saat ini, kita telah melihat bahwa banyak putusan-putusan pemerintah Indonesia yang selalu tidak bisa bebas dari campur tangan asing.
Jika dulu, penjajah harus menyusupkan seorang mata-mata untuk merusak budaya sebuah bangsa, seperti disusupkannya Snouck Hurgronje dalam kehidupan kesultanan Aceh yang kemudian merusak sendi-sendi kehidupan islam disana. Maka kini, hanya dengan menggunakan media maya saja maka pengrusakan budaya sebuah bangsa dapat dilakukan secara lembut namun dampaknya tidak kalah dengan yang terjadi seperti yang dulu-dulu. Saat ini, kita dapat melihat dengan jelas bobroknya budaya bangsa kita ini tanpa harus sembunyi-sembunyi lagi.
Disinilah tantangan baru gerakan mahasiswa Indonesia dimulai. Bangsa ini terjangkit berbagai permasalahan multidimensi yang kompleks. Perlu suatu ada gerakan mahasiswa yang tertata rapi menghadapi setiap perannya di mata bangsa ini. Dia adalah ‘Iron Stock’, dia adalah ‘Guardian of Value’, dia adalah ‘Agent of Change’.
Inilah dia pergerakan mahasiswa Indonesia. Selama masih ada masalah yang menjadi batas antara harapan dan realita bangsa, maka selama itu pula roda pergerakan mahasiswa terus berputar. Bahan bakarnya adalah teriakan rakyat, mesinnya adalah intelektual mereka, dan pelumasnya adalah idealisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar